Setelah lebih dari 8 tahun menggunakan Twitter, masih saja belum terbiasa dengan cepatnya perputaran informasi di dalamnya. Mungkin karena aku lebih nyaman menggunakan platform ini, sehingga platform lain luput dari penilaian. Selama menggunakan Twitter, aku tak jarang merasa tidak nyaman dengan berbagai tren yang bertebaran. Tulisan kali ini ditujukan sebagai sarana keluh-kesah pengguna Twitter yang mencari pelarian.
Klaim-klaim pengguna Twitter yang sempat santer beberapa waktu lalu adalah “tempat paling asyik”, yakin? Terlalu subjektif saja untuk memberi klaim seperti itu dan memicu perdebatan lintas platform. Saling curi unggahan dengan bumbu sindiran, cukup membosankan juga. Cukup reda satu permasalahan, muncul kembali perdebatan antar pengguna. Tahun bergabung satu akun dipertanyakan, sudah seperti ospek dihadapan senior menyebalkan yang gila hormat. Sebelah mana sih asyiknya kalau begini?
Tak butuh waktu lama setelah satu keributan mereda, keributan lain bermunculan. Give Away yang mulai menjamur hingga tak jarang notifikasi muncul tag tidak jelas, hingga jarang ada tulisan menarik yang terlihat karena beranda penuh dengan retweet dan like unggahan Give Away. Spam! Tidak jarang juga oknum-oknum menggencarkan agenda politik yang semakin membuat muak dengan dalih Give Away. Berebut hadiah tak seberapa dengan banyak-banyak berkomentar dengan kalimat yang diminta. Risih!
Give Away mereda, mulai muncul tren “spill the tea“. Awalnya mungkin dari cerita seseorang yang berbagi pengalaman tidak mengenakkan sebagai media untuk menenangkan diri dan bahan belajar bagi orang lain, tetapi semakin disalahgunakan sebagai media menjatuhkan orang lain. Perundungan yang dilakukan secara sukarela oleh orang-orang yang ikut merasa tersakiti, walaupun kasus yang diceritakan hanya sebatas kesalah pahaman dan ketersinggungan akibat gagal move on. Mirip, tak jarang juga akun yang ikut-ikutan dengan tren ini ikut mengemis jumlah reply, retweet, atau like terlebih dahulu. Ya mungkin niatnya ingin terkenal saja lalu setelah yang ditarget menjadi sasaran amarah, dia menghilang. Cukup licik.
Selanjutnya, masih seputar tren “spill the tea“. Bukan hal yang salah untuk berbagi pengalaman atau cerita sebagai sarana untuk saling belajar dan menguatkan, tetapi karena sudah dijadikan sebagai senjata untuk menjatuhkan orang, esensi dari speak up yang awalnya terlihat dari tren ini, perlahan bergeser dan hilang. Di sisi lain, ada cerita-cerita yang membutuhkan perhatian, hanya saja kolom komentar atau reply memang tempat terkotor dan paling menyebalkan, satu scene dari film “Wreck-It Ralph 2” pun sudah mewanti-wanti kolom tersebut, harus diributkan dengan pemikiran kolot yang sudah tak relevan lagi bahkan tag akun yang hanya menjadi sampah.
Yakin yang seperti ini masih asyik? Cukup dengan masalah tren “spill the tea“, muncul tren baru semasa pandemi. Golongan-golongan yang tak percaya seberapa bahayanya virus ini, pamer meet up circle dan liburan sana-sini seperti golongan kebal Corona, dan “menggoreng” kasus meninggalnya pasien tanpa berempati. Namanya juga masa sulit, pembuat aturan membuat rancu, penegak aturan tak tegas, dan sisanya? semaunya sendiri saja. Sebisa mungkin bertahan, menahan rasa bosan. Mengutip cuitan Kak Ika Natassa, “kalau sakit, perginya ke dokter bukan ke ekonom.” apalagi protes ke circle norak sebelah, itu sudah cukup untuk tak berulah. Nyatanya fasilitas kesehatan mulai penuh, tempat karantina mulai terbatas, tenaga kesehatannya? Jangan ditanya. Seyakinnya saja mau berkata dan berbuat apa, pintanya hanya satu, jangan menyusahkan orang lain saja.
Tak kalah menyebalkannya, akun-akun dagang pun turut menjadi sumber kejengkelan saat ingin membaca utas yang menarik. Asal titip tapi membawa rombongan, mengganggu. Ada yang bercerita kehilangan orang terkasih semasa pandemi harus dinodai dengan pedagang tak tahu diri. Ada yang berbagi ilmu tentang sejarah, ingin membuka ruang diskusi, harus diramaikan dengan “titip dagangan kak”. Mohon maaf, memang semua butuh uang terlebih di masa pandemi seperti ini, tapi bisa lebih mawas diri kah? Dilema dengan keluhan “menutup rezeki orang”, padahal sudah ada tempat lain yang siap menampung promosi dagangan.
Kejengkelan juga muncul dari sebutan atau julukan yang sering dipakai, seperti “hyung” dan “bang jago”. “Hyung” dalam Bahasa Korea adalah sebutan bagi orang laki-laki pada orang laki-laki lain yang lebih tua, lalu mengapa setiap orang harus dipanggil “hyung“? Berbeda dengan “bang jago”, sebutan ini kerap di temukan di kolom debat panas ataupun bentuk serangan balik pihak yang merasa terpojokkan. Namun, akhir-akhir ini semua terasa disalahgunakan dan disalahartikan. Jawaban template pun tak kalah menyebalkannya. Entah harus berapa akun lagi yang perlu untuk kublokir, entah kata apa lagi yang harus dibisukan. Memilah following dan followers juga tak mudah.
Seru sekali berteman dengan orang sepertiku yang mudah terganggu dengan hal-hal seperti itu 😂 Semua demi waktu yang kuluangkan untuk mencari informasi yang dibutuhkan tak terganggu, demi kewarasanku untuk tetap bisa bersenang-senang di rumah saja. Tak perlu ikut arus drama yang tak henti-henti dan hanya membuat lelah. Sekian keluh kesahnya.